Senin, 14 Juni 2010

Nurani Hukum



Bukan rahasia lagi jika keadilan di negeri ini sulit sekali ditegakkan. Itu bukan karena tidak ada aparat penegak keadilan, melainkan karena aparat itu sendiri yang enggan atau tidak mampu melakukannya.

Perbedaan status di masyarakat adalah salah satu yang mendorong terjadinya kondisi seperti itu. Mereka yang tergolong kaya, terpandang, atau memiliki jabatan terhormat kerap mendapat perlakuan yang mengenakkan di depan hukum.


Sebaliknya, mereka yang miskin dan tidak berdaya kerap mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Kondisi demikian diakui Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.

Ia mengaku prihatin melihat perilaku aparat penegak hukum yang selalu timpang dalam memberikan perlakuan hukum kepada masyarakat miskin, yakni perlakuan yang menyinggung rasa keadilan publik.

Hukum, kata Mahfud, seolah-olah diterapkan dan diterjemahkan serta-merta seperti tertulis untuk mereka.

Menurutnya, perlakuan berbeda terjadi pada kalangan mampu, baik secara finansial maupun terkait aksesnya terhadap kekuasaan.

Penegak hukum tidak melakukan hal serupa, bahkan mengatur sedemikian rupa, agar hukum bisa lebih menguntungkan bagi para pelanggar jenis itu.

Kasus yang paling aktual adalah seorang nenek yang diproses di pengadilan dan dikenai hukuman hanya karena dituding mencuri tiga buah kakao. Nenek miskin tersebut harus mendapat perlakuan hukum sebagai balasan tindakan yang sebetulnya bisa diselesaikan di luar pengadilan. Namun, aparat penegak hukum bertindak lain.

Mereka merasa nenek tersebut harus diproses di pengadilan karena hukum menyatakan demikian. Hukum tidak pandang bulu sehingga nenek itu pun harus diproses secara hukum.

Tetapi, akan berbeda halnya jika hal itu menimpa kelompok mampu atau memiliki akses ke kekuasaan. Aparat sering kali menyamarkan unsur-unsur dalam aturan undang-undang.

Bahkan tidak jarang mereka mengakali undang-undang untuk membenarkan perbuatan kriminalnya. Tidak heran bila kita mendengar ada warga miskin yang harus mendekam di penjara berbulan-bulan hanya untuk menanti proses pengadilan.

Sebaliknya, mereka yang berasal dari kalangan kaya dan terpandang bisa memanfaatkan celah hukum untuk menghindari sel. Yang paling sering dilakukan adalah permohonan penangguhan penahanan.

Itu, menurut Mahfud, akibat perilaku aparat penegak hukum yang tidak menggunakan nurani dalam menegakkan hukum atau memutus suatu perkara. Akibatnya, terjadi banyak kasus yang dinilai sangat memprihatinkan.

Misalnya, ketika seorang pengendara motor ditangkap dan diadili karena dianggap lalai sehingga menyebabkan kematian istrinya.

Padahal, mereka sendiri adalah korban peristiwa kecelakaan atau tabrak lari. Rasa keadilan masyarakat menjadi sangat terluka, apalagi melihat kasus-kasus besar yang jelas-jelas pelakunya ada dan keuangan negara dibobol, tetapi malah para penegak hukum sibuk bicara soal unsur-unsur hukum formal yang katanya belum terpenuhi sehingga kasus-kasus besar itu tidak kunjung selesai.

Menggunakan hati nurani sangat penting bagi penegak hukum dalam memutus perkara. Bahkan kalau perlu, mereka melepaskan diri dari bunyi aturan atau pasal formal yang ada. Inilah yang diterapkan Mahfud di lingkungan MK.

Para hakim konsitusi menggunakan nurani dalam menilai sebuah persoalan. Nurani harus dipandang sebagai komponen penting bagi penegak hukum dalam bekerja, tidak lagi harus dipandang sebagai komponen pelengkap yang sering kali diabaikan. Sebab, hati nurani adalah sumber keadilan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar